Sepenggal Kisah, Penampar Diri

Sepenggal Kisah, Penampar Diri

Diposting Oleh Unknown Selasa, 30 September 2014 0 komentar


Assalamualikum sobat semua.
Sudah hampir satu minggu saya absen dari layar kaya (baca : blog), bukan karena kesibukan syuting layaknya artis papan atas tapi dikarenakan kuota internet habis, sebenarnya niatnya mau beli paket internet yang sering saya pakai namun apadaya ternyata harga paket internet tersebut mengalami kenaikan yang semakin membuat dompet tercekik. owalah help me!!!!

Setelah paket internet sudah di tangan, langkah selanjutnya yaitu menancapkan modem di laptop, selang beberapa lama ada pesan untuk melakukan konektivitas, klik dan josh! saatnya berpetualang di dunia antah berantah.

Biasanya ritual utama yang saya lakukan sebelum berkelana ke berbagai tempat di dunia antah berantah yaitu membuka facebook, setelah celingak celingok sana sini, cling.... terdengar suara nada pesan baru masuk dari grup obrolan di facebook yang saya ikuti. Wah ternyata ada sepenggal kisah yang dibagikan oleh seorang teman yang dia dapat dari grup Building a Better Future Together.

Setelah saya baca, kalimat pertama yang terucap dan seketika saya ketikkan langsung di grup chat tersebut berbunyi :

"subhanallah..
Beruntunglah kita yang masih ada orang tua di samping kita, namun merugilah tatkala kita menyia2kan mereka. Sungguh saat ini saya termasuk kedalam golongan yang merugi..
Terima kasih sudah share."

Selamat membaca teman-teman. semoga ada sebait pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di bawah ini.

Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.

Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.

Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda.

Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. "Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab," katanya.

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. "Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!" papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. "Sebut saja!" katanya menegaskan.

Zhang Da yang saat itu sudah berusia 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. "Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!" kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai.


Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Sepenggal Kisah, Penampar Diri
Ditulis/Disusun Oleh : Unknown
Tulisan Sepenggal Kisah, Penampar Diri pada Blog Selembar Kertas ini memang di bawah DCMA Protected. Tapi Bebas kok di COPAS dan di posting Ulang asalkan link sumbernya tetap disertakan, terima kasih atas kerjasamanya.
  • Check google pagerank for ruangfana.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar